Tertunggaknya Kasus Pajak ‘raja’ Industri Otomotif Indonesia

0

Hingga tertunggaknya kasus pajak ‘raja’ industri otomotif Indonesia tentu membuat semakin terlunta-luntanya masalah yang telah terindikasi terdapat permasalahan. news.ralali.com mengungkapkan untuk Anda.

Tertunggaknya Kasus Pajak 'raja' Industri Otomotif Indonesia
Ilustrasi-Aktivitas-Perakitan-Mobil-Toyota-di-Indonesia

Setelah menjadi prahara dan banyak proses berliku, indikasi yang menguatkan pernyataan bahwa pihak Toyota dan pemerintah hanya bungkam, menunggu proses peradilan.

Sampai-sampai ketua bidang pengawasan dan investigasi hakim. Komisi Yudisial, Eman Suparman tak ada lagi yang bisa terucap karena sejak menjabat sebagai komisioner lembaga yang bertugas mengawasi para hakim ini sekitar tahun 2010 tak pernah menerima pengaduan soal kinerja hakim pengadilan pajak. Pasalnya tertunggaknya kasus pajak ‘raja’ industri otomotif Indonesia ini bertele-tele.

Tertunggaknya Kasus Pajak 'raja' Industri Otomotif Indonesia
Ilustrasi-Salah-Satu-Dealer-Toyota

Terheran-heran

“Saya juga heran,” katanya , sekitar akhir maret lalu mengutip Tempo Investigasi. Menurut Eman, pengadilan pajak memiliki sederet kejanggalan yang seharusnya dikoreksi. Pertama, para hakim digaji oleh kementrian keuangan dan bukan oleh mahkamah agung.

Kedua, gedung pengadilan pajak berada di bawah naungan Kementerian Keuangan, bukan Pengadilan Tata Usaha Negara. “Bagaimana mereka bisa independen?” kata Eman tak paham.

Tak hanya itu. Sebagian besar hakim pengadilan pajak juga merupakan pensiunan pejabat Direktorat Jenderal Pajak. “Ini kan conflict of interest,” katanya lagi.

Yang membuat Eman kian heran adalah tak ada satu pun universitas atau lembaga swadaya masyarakat yang pernah menggugat desain pengadilan pajak itu, padahal. lagi-lagi kasus pajak ‘raja’ industri otomotif Indonesia terus bergulir. “Tak pernah ada judicial review misalnya, untuk mempertanyakan undang-undang yang mengatur pengadilan pajak,” kata dosen Universitas Padjajaran, Bandung, ini.

Eksklusifitas Pengadilan Pajak

Keheranan Eman tak berlebihan. Tak banyak orang tahu kalau ruang sidang Pengadilan Pajak menempati lantai 9 dan 10 Gedung Sutikno Slamet – salahsatu gedung di kompleks Kementerian Keuangan, di depan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Ketidaktahuan publik kian parah karena akses menuju ruang sidang juga tak sebebas pengadilan pada umumnya. Semua pengunjung pengadilan pajak harus menyetorkan kartu identitas di lantai dasar Gedung Sutikno sebelum diizinkan naik. Lantas, bagaimana dengan kasus pajak ‘raja’ industri otomotif Indonesia ini?

Jumlah kursi untuk pengunjung sidang pun hanya lima buah di setiap ruang sidang. Ada kesan kalau pengadilan pajak hanya diperuntukkan bagi para pihak yang bersengketa –petugas pajak dan kuasa hukum para wajib pajak.

Kesan itu makin kuat karena situs pengadilan pajak di internet hanya menyediakan akses informasi soal jadwal sidang dan materinya kepada para pihak yang bersengketa saja. Dan seolah-olah kasus pajak ‘raja’ industri otomotif Indonesia ini tak ingi diketahui, sama dengan kasus lainnya.

3 Kasus Pajak ‘raja’ Industri Otomotif Indonesia

Di salahsatu ruang sidang yang lengang inilah, perkara sengketa pajak Toyota diadili. Meski nilai fulus yang dipertaruhkan dalam perkara ini bukan main-main, sorotan publik bisa dibilang amat minim. Padahal jika dinyatakan kalah di pengadilan ini, Toyota harus membayar kekurangan pajak sampai Rp 1,22 triliun. Sebaliknya, jika menang, negara harus rela mengembalikan kelebihan pajak Toyota sebesar lebih dari Rp 400 miliar.

Jumlah sebesar itu merupakan akumulasi dari tiga sengketa pajak Toyota. Laporan pajak yang dipersoalkan Direktorat Jenderal Pajak adalah surat pemberitahuan pajak tahunan Toyota tahun 2005, 2007 dan 2008. Itulah tertunggaknya kasus pajak ‘raja industri otomotif Indonesia hingga saat ini.

Yang kini jadi pergunjingan adalah lamanya waktu yang dibutuhkan majelis hakim pengadilan pajak untuk memutus ketiga perkara itu. Kasus tahun pajak 2005 dan 2007 misalnya sudah selesai disidangkan dua tahun lalu. Sedangkan kasus pajak Toyota tahun 2008 sudah rampung disidangkan pada Maret 2013 lalu. Nasib ketiga perkara itu kini tak jelas.

Sayangnya, majelis hakim yang mengadili perkara ini: Sukma Alam, Krosbin Siahaan dan Seno SB Hendra, tak bisa ditemui. Soeryo Koesoemo Adjie, salah satu hakim yang memeriksa sengketa pajak Toyota untuk tahun pajak sebelumnya, juga tak bersedia bicara banyak.

“Saya tidak bisa berkomentar kalau kasusnya belum putus,” ujar dia. Ketua Pengadilan Pajak IGN Mayun Winangun bahkan tak merespons permintaan wawancara.

Tak Paham Kasus Transfer Pricing

Ada dugaan, hakim pengadilan pajak tidak begitu memahami anatomi kasus transfer pricing sehingga terkesan berhati-hati. Secara tersirat, ini diakui Dirjen Pajak Fuad Rahmany. “Saya enggak ngerti bagaimana tingkat kemampuan hakim di Pengadilan Pajak,” katanya dikutip dari Tempo Investigasi. Namun dugaan ini terbantahkan karena beberapa kasus transfer pricing lain di pengadilan pajak, sudah diputus.

Ada juga yang menduga lamanya putusan kasus ini terkait metode penghitungan kekurangan pajak Toyota yang dinilai tak konsisten. Pada sengketa tahun pajak 2005, petugas mempersoalkan royalti yang dibayarkan perusahaan itu pada induknya di Tokyo sana.

Mereka menduga royalti tersebut merupakan deviden terselubung. Soalnya, Toyota Motor Manufacturing tak bisa membuktikan nilai aset tak berwujud (intangible property) yang seharusnya menjadi dasar perhitungan royalti.

Sebagai perbandingan, Aftab Automobiles –sebuah perusahaan di Bangladesh yang tak terafiliasi dengan Toyota, tak dipungut royalti sepeser pun meski diberi lisensi merakit Toyota Land Cruiser dan Truk Hino.

Karena itulah, petugas pajak melakukan koreksi nilai royalti yang disetorkan Toyota. Masalahnya, koreksi serupa tidak dilakukan petugas pajak untuk sengketa tahun pajak berikutnya. Ini yang diduga membingungkan para hakim hingga tertunggaknya kasus pajak ‘raja’ industri otomotif Indonesia.

Yang lain menduga hakim gamang mengadili perusahaan sebesar Toyota. Seorang pejabat eselon satu di Kementerian Perindustrian misalnya, mengakui gangguan pada Toyota akan membuat lebih dari 1.400 perusahaan produsen komponen kendaraan, penjualan sampai pelayanan purna-jual, ikut kena dampak. “Kami tahu Toyota punya masalah pajak, tapi kami tak terlalu memperhatikan,” katanya ringan.

Sikap pejabat pemerintah semacam itu patut dipersoalkan. Pasalnya, di sejumlah negara, Toyota sudah beberapa kali tersandung masalah pajak. Di Amerika Serikat, Australia sampai Thailand, perusahaan ini beberapa kali dituduh melakukan penghindaran pajak.

Pada Maret 2010 lalu –sebagaimana diberitakan koran Sydney Morning Herald– otoritas pajak Australia (Australian Tax Office) misalnya, menuding Toyota melakukan transfer pricing yang membuat 20 persen keuntungan penjualan mobil mereka di Australia raib ke luar negeri. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 2,6 triliun. Jika begitu, kasus pajak ‘raja’ industri otomotif Indonesia tak sendiri dan bukan kali pertama.

Tertunggaknya Kasus Pajak 'raja' Industri Otomotif Indonesia
Ilustrasi-Peradilan-Pajak

‘Main Mata’ Sama Dengan Judicial Corruption

Bertele-telenya penyelesaian sengketa di pengadilan pajak akhirnya masuk radar Komisi Yudisial. Menurut Eman Suparman, lembaganya kini memberikan perhatian khusus pada pengadilan pajak. “Jika ada hakim yang bermain mata dengan wajib pajak, ini bisa menjadi kasus judicial corruption,” katanya.

Perhatian lembaga penegak hukum seperti yang dijanjikan Eman, sama sekali tak berlebihan melihat kasus pajak ‘raja’ industri otomotif Indonesia. Menurut Global Financial Integrity –sebuah lembagai advokasi keuangan yang berbasis di Washington DC– Indonesia adalah negara dengan kebocoran finansial terbesar kedelapan di dunia.

Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia kehilangan pendapatan sekitar Rp 213 triliun per tahun akibat kejahatan kerah putih. Sebagian besar modus kejahatan itu adalah penghindaran pajak.

Tanpa gebrakan penegak hukum, tiga kasus pajak ‘raja’ industri otomotif Indonesia yang bernilai triliunan rupiah, akan terus mengendap di lantai 10 Gedung Sutikno Slamet. Berkasnya kini menumpuk bersama lebih dari 10 ribu berkas perkara lain yang tertunggak di pengadilan itu sejak sepuluh tahun lalu. Entah sampai kapan. (Sumber : Tempo Investigasi)

Ralali Food Program

Bergabunglah dengan Ralali Food Program untuk mengembangkan bisnis horeca dan fnb Anda.


Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.